Pages

Kamis, 22 Mei 2014

Konflik Lahan SPD RFS







MAKALAH KELOMPOK

Tentang:

Konflik Agraria: Sengketa Lahan PTPN VII Cinta Manis dengan
Masyarakat di Kabupaten Ogan Ilir,
Sumatera Selatan














Di Susun oleh :

1.     Syukri Putra
11502-043

2.     Sofia Rahmawati
11502-041



PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2013

KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang diberikan sehingga penulis dapat menyusun tugas kelompok tentang “Konflik Agraria: Sengketa Lahan PTPN VII Cinta Manis dengan Masyarakat di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Politik Lingkungan Hidup dan Agraria.
Penyusunan Makalah ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak, melalui kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan tugas ini, sehingga penulis bisa memahaminya.
Penulis menyadari bahwa sepenuhnya hasil penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu, penulis sangat mengharapkan masukan, baik kritik maupun saran. Demi kelengkapan dan kebaikan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis. Maupun pembaca pada umumnya.

                                                  
                                                  
Pekanbaru,    Desember 2013


Penulis


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I
1.1  Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah................................................................................. 2
1.3  Tujuan ................................................................................................... 2
BAB II
2.1  Pengertian Hukum Agraria.................................................................... 3
2.2  Pengertian Konflik Agraria................................................................... 3
2.3  Sejarah Berdirinya PTPN VII Cunta Manis.......................................... 4
2.4  Proses awal terjadinya konflik.............................................................. 4
2.5  Sebab-sebab terjadinya konflik............................................................. 6         
2.6  Solusi penyelesaian Konflik.................................................................. 7
BAB III
3.1  Kesimpulan........................................................................................... 10
3.2  Saran   .................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA



                                                                                                      Penyusun






 


 

BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang

Masalah pertanahan (perkebunan) di Indonesia telah menjadi catatan sejarah yang cukup panjang. Catatan ini, paling tidak terbentang semenjak abad 19, yakni ketika mulai ramainya pejelajah dan penjajah datang  ke negeri ini. Kedatangan para ekspansionis secara tidak langsung telah merubah  struktur dan tata tertib kepemilikan tanah di masyarakat. Hal ini ditandai dengan berubahnya fungsi tanah yang semula berfungsi sosial menjadi lebih bersifat ekonomi. Perubahan fungsi ini semata-mata didasari oleh kenyataan di mana  para ekspansionis telah melakukan upaya paksa maupun dengan jalan kekerasan untuk menguasai lahan yang ada. Selain itu, untuk lebih mempermudah proses penguasaan atas tanah salah satunya adalah melalui proses kerjasama dengan penguasa setempat dengan cara-cara penekanan dan pemaksaan.
Catatan sejarah ini kemudian diteruskan oleh rezim penguasa yang berhasil memimpin negeri ini bersama-sama dengan dukungan dari kekuatan internasional lainnya. Berlangsungnya proses modernisasi serta  ramainya kegiatan pembangunan yang diselenggarakan oleh negara secara perlahan dan pasti mulai mengancam eksistensi tanah sebagai objek landrefrom yang ini secara nyata didukung oleh kepentingan kapitalis internasional. Wujud modernisasi tampil dalam bentuknya yang paling vulgar, yakni penggusuran dan perampasan dengan  mengatasnamakan pembangunan. Dengan motto atas nama  pembangunan  semuanya harus tunduk dan patuh mendukung sepenuhnya kerja pembangunan yang dilakukan.
Modernisasi  dan pembangunan telah menyebabkan munculnya berbagai persoalan, khususnya dalam permasalahan tanah. Terlebih-lebih ketika kedua momentum  kemudian signifikan dalam menarik minat para investor ke negeri ini. Catatan kemudian juga dilengkapi oleh berbagai kisah tragedy berkenaan dengan upaya mempertahankan hak atas tanah oleh masyarakat. Dan komunitas petani merupakan salah satu objek yang acap akrab dengan persoalan yang muncul di seputar pertanahan.
Lahirnya undang-undang No. 5 tahun 1960 semasa rezim Soekarno dianggap cukup populis, namun tampaknya ternyata hanya sebatas di atas kertas. Terlalu sulit untuk mengimplementasikan peraturan ini di tengah-tengah mayarakat. Inilah fakta yang berlangsung selama kurang lebih 40 tahun lamanya. Pangkal masalahnya terletak pada tidak adanya kemauan politik yang kuat dari negara untuk menerapkannya. Kenyataan ini bertambah runyam dengan lahirnya berbagai kebijakan dan peraturan yang tumpang tindih dan merugikan petani. Alhasil, kompleksitas persoalan yang muncul di seputar masalah pertanahan laiknya efek bola salju, terus menggelinding dan semakin hari semakin membesar . Efek inilah yang akhirnya berubah menjadi lingkaraan setan persoalan yang pada akhirnya harus dihadapi oleh negara.
Tulisan ini dengan dilatarbelakangi oleh dinamika dan konstalasi sosial politik yang terjadi di negeri ini mencoba menganalisis lebih jauh akar permasalahan yang menjadi penyebab munculnya konflik pertanahan, khususnya di Sulawesi Selatan.

1.2  Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana bentuk Konflik Agraria pada studi: Sengketa Lahan PTPN VII Cinta Manis dengan Masyarakat di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan?

1.3  Tujuan

Adapun tujuan makalah ini adalah:
1.    Untuk mengetahui pengertian Hukum Agraria.
2.    Untuk mengetahui Konflik Agraria.
3.    Untuk Mengetahui Sejarah Berdirinya PTPN VII Cunta Manis.
4.    Untuk Mengetahui Proses awal terjadinya konflik.
5.    Untuk Mengetahui Sebab-sebab terjadinya konflik
6.    Untuk Mengetahui Solusi penyelesaian Konflik antara PTPN VII dengan Masyarakat Ogan Ilir.
BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Pengertian Hukum Agraria.

Definisi hukum agraria (Prof. Budi Harsono) yaitu “Hukum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum tertulis / tidak tertulis mengenai bumi, air, dan dalam batas-batas tertentu ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Pengertian agraria dalam arti luas (UUPA) meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam pasal 48, bahkan meliputi juga ruang angkasa. Yaitu ruang diatas bumi dan air yang mengandung: tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.  Pengertian agraria dalam arti sempit (UUPA) yaitu bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air (pasal 1 ayat 4 jo pasal 4 ayat 1). Dengan demikian pengertian “tanah” meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut.

2.2  Pengertian Konflik Agraria

Konflik agraria adalah salah satu tema sentral wacana pembaruan agraria. Christodoulou (1990) mengatakan, bekerjanya pembaruan agraria tergantung watak konflik yang mendorong dijalankannya pembaruan. Artinya karakteristik, perluasan, jumlah, eskalasi, dan de-eskalasi, pola penyelesaian dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh konflik-konflik agraria di satu sisi dapat membawa dijalankannya pembaruan agraria (menjadi alasan obyektif dan rasional), di sisi lain menentukan bentuk dan metode implementasi pembaruan sendiri. Konflik agraria mencerminkan keadaan tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi kelompok masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari tanah dan kekayaan alam lain, seperti kaum tani, nelayan, dan masyarakat adat. Bagi mereka, penguasaan atas tanah adalah syarat keselamatan dan keberlanjutan hidup. Namun, gara-gara konflik agraria, syarat keberlanjutan hidup itu porak-poranda. Komitmen politik untuk menyelesaikan segala konflik menjadi prasyarat yang tidak bisa ditawar. Dalam kerangka politik hukum, sebenarnya kita sudah punya Ketetapan MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam. Ketetapan MPR ini dapat menjadi kerangka pokok upaya menyelesaikan aneka konflik agraria yang diwariskan rezim masa lalu yang telah dan masih berlangsung hingga kini.

2.3  Sejarah Berdirinya PT Perkebunan Nusantara VII Unit Cinta Manis.

Pendirian Perkebunan Tebu dan Pabrik Gula Cinta Manis oleh PTP XXI-XXII (VII) berdasarkan SK Mentan No. 076/Mentan/I/1981 tanggal 2 Februari 1981, tentang izin prinsip pendirian perkebunan tebu dan pabrik di Sumatera Selatan, merupakan upaya pemerintah memenuhi Swasembada gula dalam negeri pada waktu itu. Awalnya lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan tersebut mencapai 21.358 Ha. Penyediaan lahan dilakukan melalui SK Gubernur KDH tingkat I Sumatera Selatan No. 379/I/1981 tanggal 16 November 1981.
Lahan yang disediakan oleh pemerintah provinsi seluas 21.358 Ha, dibagi menjadi enam satuan hamparan atau rayon. Rayon I dan II terletak di Desa Burai dan sekitarnya (60 Km dari pabrik) dengan topografi rata sampai landai. Rayon III, IV dan V berada di wilayah Desa Ketiau, Seri Bandung, Seri Kembang dan sekitarnya. Rayon VI berada di Desa Rengas dan sekitarnya (25 Km dari Pabrik) bertopografi landai sampai berbukit kecil.
Pendirian perkebunan tebu dan pabrik gula tersebut, merupakan bagian dari proyek industrialisasi pada masa orde baru, ketika ideologi pembangunan (developmentalisme) bertengger kokoh dengan dukungan hampir semua elemen negara.

2.4   Proses awal terjadinya konflik Perkebunan (Agraria).

Terjadinya konflik agraria ini bukanlah pertama kali terjadi tetapi sudah cukup lama di Ogan Ilir, Sumatera Selatan yaitu pada tahun 1982, dimulainya pembangunan PTPN VII Unit Cinta Manis. Dimana PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VII ini telah merampas tanah rakyat.  Perampasan ini membuat para petani di 20 desa dari 6 kecamatan di Ogan Ilir dengan pasrah dan terpaksa menyerahkan lahan mereka. karena tidak mampu untuk melakukan perlawan. Pada akhirnya kebun karet dan kebun nanas masyarakat setempat digusur oleh PTPN VII tanpa ganti rugi yang layak. Proses ganti rugi pada masa orde baru ini diakui warga kerap diwarnai tekanan, intimidasi dan sikap refresif aparat keamanan.
Adapun upaya dialog dan mediasi yang telah ditempuh warga, namun pihak PTPN VII selalu mengulur waktu dan tidak pernah memberi kepastian yang tegas. Dari luas lahan 20.000 ha yang diusahakan PTPN VII Cinta Manis hanya 6.000 hektar memilki Hak Guna Usaha (HGU) berlokasi di daerah Burai kecamatan Rantau Alai. Dengan demikian maka, hanya 6.500 hektar saja dari luasan penguasaan PTPN VII yang tercatat sebagai aset negara dan dibayarkan keuntungannya kepada negara, sedangkan sisanya seluas 13.500 hektar tidak diketahui digunakan atau diperuntukan untuk apa.
Adapun masalah yang terjadi dengan perlakuan yang sama oleh anggota Brigade Mobil (Brimob) yaitu pada tanggal 4 Desember 2009 dimana ada ketidakpuasan masyarakat atas kompensasi yang mereka terima yaitu dimana terjadi pembongkaran pondok-pondok petani yang berakhir dengan peristiwa penembakan terhadap warga Desa Rengas, Kabupaten Ogan Ilir oleh anggota Brimob.
Dan pada akhirnya terjadi lagi yang mana tidak bisa dihindarkan lagi yaitu pada jumat (27/07/2012) petang. Dimana konflik perkebunan ini terjadi di desa Limbang Jaya, Kecamatan Tanjung batu, Kabupaten Ogan Ilir sumatera selatan (sumsel). Konflik ini terjadi berawal dari Aparat kepolisian. Dimana aparat kepolisian ini sedang menjalankan tugas pengamanan di lokasi sengketa lahan dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Unit Usaha Cinta Manis.
Pasukan Brimob Polda melakukan penggeledahan terhadap rumah-rumah penduduk di Desa Sri Bandung, Kamis (26;07;12) dilakukan pula penangkapan tiga orang warga yang dituduh melakukan pencurian pupuk milik PTPN VII.
Pada siang menjelang Shalat Jumat, (27;07;12) ratusan aparat Brimob kembali mendatangi dan melakukan "sweeping" di tiga desa, di antaranya Desa Betung, Desa Sri Tanjung, dan Desa Sri Kembang, kemudian menangkap sedikitnya dua orang petani dari Desa Sri Tanjung. Pukul 16.00 WIB, ratusan Brimob bersenjata lengkap mengendarai sedikitnya 23 mobil truk kembali mendatangi Desa Limbang Jaya. Warga yang melihat ratusan anggota Brimob memasuki desa mereka, akhirnya secara beramai-ramai mendatangi personel kepolisian tersebut dengan maksud menanyakan kepentingan memasuki desa mereka. Namun melihat banyak warga mendatangi mereka, pasukan Brimob bersenjata lengkap itu mendadak langsung mengeluarkan tembakan ke arah warga. Bentrok antara Brimob dengan warga pun tak dapat dihindari.
Karena tembakan secara membabi-buta yang dilakukan oleh aparat Brimob tersebut, seorang anak berumur 13 tahun yang masih bersekolah kelas 1 SMP, Angga bin Darmawan tewas tertembak di kepalanya. Angga tertembak saat keluar dari tempat permainan play station, karena mendengar keramaian petugas.
Berdasarkan hasil investigasi tim advokasi, jumlah korban dalam kondisi kritis akibat tembakan petugas sebanyak lima orang, dua orang perempuan, seorang remaja berumur 16 tahun, Jesica cucu dari anggota DPRD Ogan Ilir, satu orang ibu. Satu orang lagi bernama Rusman bin Alimin dalam kondisi kritis. Semua korban saat ini sedang berada di Puskesmas Tanjung Batu, dan korban Angga dievakuasi ke Rumah Sakit Bhayangkara Palembang. Saat ini ratusan personel Brimob dengan senjata lengkap masih berada di lokasi Desa Tanjung Pinang.

2.5  Sebab-sebab terjadinya konflik Perkebunan (Agraria)

Salah satu penyebab konflik agraria adalah masalah kesenjangan sosial. Konflik juga bisa disebabkan oleh kebijakan negara masa lalu. Misalnya pada zaman Hindia Belanda tidak melindungi eksistensi hukum adat seperti hak ulayat sehingga timbul sengketa batas antara wilayah hukum adat dan wilayah konsesi perkebunan.
Pengambil-alihan dan pengelolaan kebun sering kali diikuti pula dengan segala budaya kebun yang dibangun oleh pemilik kebun lama, yaitu semata-mata mementingkan pengusaha dengan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi kurang memerhatikan masyarakat sekelilingnya. hal ini juga tercermin masih adanya indikasi besarnya gaji  antara pimpinan kebun dengan buruh seperti langit dan bumi. Kesenjangan sosial demikian meningkatkan kecemburuan sosial yang melahirkan pikiran sederhana bahwa keberadaan kebun kurang bermanfaat bagi rakyat di sekitarnya.
Meningkatnya pengetahuan rakyat dan dengan pikiran yang sederhana pula rakyat cepat terpancing melakukan tindakan yang dikategorikan melanggar hukum misalnya ada bagian tertentu dari areal yang sengaja tidak ditanami untuk menjaga kelestarian lingkungan dan sumber air, pemilik kebun sudah dianggap menelantarkan tanah dan hal ini menjadi alasan untuk menduduki kebun secara paksa. Konflik agraria juga terjadi akibat lemahnya penegakan hukum, tanah telantar, dan reclaiming sebagai tanah adat. Karena itu, diperlukan upaya preventif dan penyelesaian sengketa. Di antaranya terhadap tanah Hak Guna Usaha yang masih dikelola dengan baik perlu dijaga kelestariannya. Sebab menurut UUPA setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dan mencegah cara-cara pemerasan.

2.6  Solusi penyelesaian Konflik antara PTPN VII dengan Masyarakat Ogan   Ilir.
Dalam kasus konflik argaria ini belum ada cara penyelesaiannya. Sudah banyak usulan berbagai pihak tentang perlunya pembentukan lembaga khusus seperti Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA), ataupun Pengadilan Agraria.
Pemerintah memilih strategi memperkuat peran dan posisi Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan membentuk kedeputian yang secara khusus untuk mengkaji dan menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan melalui Perpres No 10/2006 tentang BPN dan meluncurkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang berniat meredistribusi tanah. Sampai saat ini program setengah hati pemerintah ini belum terealisasikan dengan baik.
Berbagai peraturan telah dikeluarkan BPN untuk mendukung penyelesaian konflik agraria, seperti SK. BPN No 34 tahun 2007 tentang petunjuk teknis penangan dan penyelesaian masalah pertanahan, dan pedoman penyelesain konflik agraria melalui SK.BPN  No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. BPN menjadi satu-satunya lembaga terdepan untuk menyelesaikan sengketa agraria dengan mengedepan proses-proses mediasi. Namun perlu dipertanyakan sejauh mana kemampuan BPN menjadi mediator tanpa ada keberpihakan. Idealnya lembaga mediator terdiri dari unsur pemerintah, organisasi petani dan lembaga lainnya. Baru-baru ini pemerintah juga akan membentuk Satgas penyelesaian konflik agraria. Yang tentu diharapkan mampu menyelesaikan konflik agraria.
Dalam rangka penyelesaian konflik agraria di butuhkan Badan Otoritas Sengketa Agraria, yang memiliki kewenangan tidak hanya sekedar penyelesaian sengketa/konflik agraria tapi juga memiliki kewenangan melaksanakan reforma agraria, memiliki konsep pembagunan petani dan pertanian. Penataan kembali struktur agraria yang timpang, pendistribusian tanah kepada petani tak bertanah dan rakyat miskin lainnya melalui program pembaruan agraria sejati.
Harus ada alokasi yang jelas bagi tanah petanian dan tanaman pangan milik rakyat. Investasi perkebunan tidak boleh mengalihfungsikan dan di atas tanah cadangan bagi pertanian rakyat. Strategi penyelesaian konflik perkebunan tidak hanya sebatas persoalan tanah siapa diambil siapa. Harus mencakup segala aspek terutama rasa keadilan dan kesenjangan sosial yang terjadi, sehingga bisa meminimalisir konflik di masa datang. Konflik agraria adalah konflik struktural yang timbul karena kebijakan yang salah arah dari pemerintah. Butuh kemauan politik pemerintah untuk menyelesaikannya, mungkin pemerintah perlu berkaca pada perjanjian pancang merah tahun 1930 di Pasaman yang dibuat atas kemauan politik penguasa waktu itu.
sebaiknya apabila ada HGU yang bermasalah hendaknya diselesaikan lewat jalur hukum yang berlaku, ditinjau dari sudut terjadinya sengketa, faktor sejarah, keadaan sosial ekonomi, dan politik mewarnai substansi sengketa. Oleh sebab itu, penangannya harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut. Ia mengingatkan apapun yang dilakukan oleh pemilik Hak Guna Usaha (HGU) hendaknya tetap peka terhadap keadaan lingkungan masyarakat sekitarnya. Keselamatan HGU bukan semata-mata menjadi beban aparat keamanan, tetapi juga sangat ditentukan apakah kemakmuran yang diperoleh pengusaha ikut dinikmati juga masyarakat secara luas.
Dan sebaiknya PTPN harus memiliki legalitas hukum yang sah, sehingga tidak punya HGU. Sedangkan  HGU sendiri merupakan alat pemerintah untuk memperolah penghasilan negara. Sebagai state own company seharusnya PTPN VII bekerja untuk mensejahterakan warga bukan menyengsarakan dan menindas warga. Pimpinan PTPN VII harus bertanggung jawab atas gugurnya korban jiwa akibat kerakusan PTPN VII.







BAB III
 PENUTUP


3.1 Kesimpulan

Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Bentrok antara warga dan Brimob yang terjadi di Ogan Ilir, Sumatera Selatan, 27 Juli 2012, secara tak langsung dipicu oleh ketegangan antara warga dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Unit Cinta Manis yang mengelola perkebunan tebu di wilayah tersebut. bentrok semacam itu bukan pertama kali terjadi di Ogan Ilir. Sejarah konflik agraria di daerah tersebut bahkan cukup panjang, dimulai pada 1982 . tahun dimulainya pembangunan PTPN VII Unit Cinta Manis. pembangunan Unit Cinta Manis membuat para petani di 20 desa dari 6 kecamatan di Ogan Ilir terpaksa menyerahkan lahan mereka untuk dijadikan perkebunan tebu. Kebun karet dan kebun nanas masyarakat digusur oleh PTPN VII tanpa ganti rugi yang layak. Ini diwarnai pula dengan tekanan, intimidasi, dan sikap represif aparat keamanan.
Di awal Juni lalu, ribuan warga dari 15 desa di Kabupaten Ogan Ilir turun ke jalan menuju Kantor DPRD Sumatera Selatan. Upaya aksi tersebut tidak ditanggapi pihak pemerintah dengan berakhir buntu. Lalu sebulan kemudian warga menggelar aksi kembali, kali ini dengan sasaran aksi menuju PTPN VII. Warga menuntut pengembalian lahan mereka yang dirampas PTPN VII seluas 13 ribu hektar dari 20 ribu hektar yang digunakan PTPN VII. Dalam situasi ini, PTPN VII menggunakan alat Negara yakni aparat Brimob untuk menjaga kepentingan para pemilik modal dari tuntutan rakyat. Artinya dapat dilihat bahwa Negara selalu menggunakan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan setiap persoalan rakyat termasuk sengketa lahan.

3.2 Saran

Didalam penyelesaian konflik kita harus saling kompromi dimana pihak yang terlibat konflik saling mengalah atau saling memeberi dan menerima kebijakan, tanpa paksaan, saling mengurangi tuntutan dan saling menghargai pendirian masing-masing, mengambil pihak ketiga atas persetujuan kedua belah pihak yang bertikai, mempertemukan pihak yang bertikai dengan melalui lembaga formal, untuk berunding agar diperoleh persetujuan bersama danmusyawarah pembahasan suatu masalah secara bersama-sama agar tercapai pendapat bulat dan dianggap paling baik, paling benar, serta dipertanggung jawabkan.
Didalam kasus konflik perkebunan di Ogan ilir sumatera selatan selain menggunakan cara-cara diatas, Pemerintah dan aparatnya seharusnya menjadi kekuatan utama masyarakat untuk memperoleh perlindungan dan dukungan dalam mewujudkan keadilan sosial bagi petani miskin, rakyat tak bertanah di pedesaan dan wilayah-wilayah pedalaman.





DAFTAR PUSTAKA



http://www.jurnas.com/news/55188/Konflik_Agraria_Akibat_Kesenjangan_Sosial/1/Nasional/Hukum   

Runtung Sitepu, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian  Hukum Adat pada Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara, Medan, 2006.

Rusmadi Murad - Lokakarya "Mediasi, Solusi Tepat Penyelesaian Masalah Pertanahan di Propinsi Jawa Tengah" Kanwil BPN Propinsi Jawa Tengah di Semarang, tgl. 22 Desember 2008.

Soetandyo Wignjosoebroto, 2006, Konflik: Masalah, Fungsi dan Pengelolaannya, Makalah disampaikan dalam Diskusi ...Pengelolaan dan Antisipasi  Konflik di Jawa Timur ..., yang diselenggarakan



0 komentar:

 
SYUKRI PUTRA DANUR S.IP (SPD) creditosbtemplates creditos Templates by lecca 2008 .....Top