MAKALAH
KELOMPOK
Tentang:
“Konflik Agraria: Sengketa Lahan PTPN VII Cinta Manis dengan
Masyarakat di Kabupaten Ogan Ilir,
Sumatera Selatan”
Di
Susun oleh :
1.
Syukri Putra
11502-043
2.
Sofia Rahmawati
11502-041
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2013
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang
diberikan sehingga penulis dapat menyusun tugas kelompok tentang “Konflik
Agraria: Sengketa Lahan PTPN VII Cinta Manis dengan Masyarakat di Kabupaten
Ogan Ilir, Sumatera Selatan”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok
pada mata kuliah Politik Lingkungan Hidup dan Agraria.
Penyusunan Makalah
ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak, melalui kesempatan ini, penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan
tugas ini, sehingga penulis bisa memahaminya.
Penulis menyadari
bahwa sepenuhnya hasil penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk
itu, penulis sangat mengharapkan masukan, baik kritik maupun saran. Demi
kelengkapan dan kebaikan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis. Maupun pembaca pada umumnya.
Pekanbaru, Desember
2013
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I
1.1 Latar
Belakang...................................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah................................................................................. 2
1.3 Tujuan ................................................................................................... 2
BAB II
2.1 Pengertian
Hukum Agraria.................................................................... 3
2.2 Pengertian
Konflik Agraria................................................................... 3
2.3 Sejarah
Berdirinya PTPN VII Cunta Manis.......................................... 4
2.4 Proses
awal terjadinya konflik.............................................................. 4
2.5 Sebab-sebab
terjadinya konflik............................................................. 6
2.6 Solusi
penyelesaian Konflik.................................................................. 7
BAB III
3.1 Kesimpulan........................................................................................... 10
3.2 Saran .................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah pertanahan
(perkebunan) di Indonesia telah menjadi catatan sejarah yang cukup panjang.
Catatan ini, paling tidak terbentang semenjak abad 19, yakni ketika mulai
ramainya pejelajah dan penjajah datang ke negeri ini. Kedatangan para
ekspansionis secara tidak langsung telah merubah struktur dan tata tertib
kepemilikan tanah di masyarakat. Hal ini ditandai dengan berubahnya fungsi
tanah yang semula berfungsi sosial menjadi lebih bersifat ekonomi. Perubahan fungsi
ini semata-mata didasari oleh kenyataan di mana para ekspansionis telah
melakukan upaya paksa maupun dengan jalan kekerasan untuk menguasai lahan yang
ada. Selain itu, untuk lebih mempermudah proses penguasaan atas tanah salah
satunya adalah melalui proses kerjasama dengan penguasa setempat dengan
cara-cara penekanan dan pemaksaan.
Catatan sejarah ini
kemudian diteruskan oleh rezim penguasa yang berhasil memimpin negeri ini
bersama-sama dengan dukungan dari kekuatan internasional lainnya.
Berlangsungnya proses modernisasi serta ramainya kegiatan pembangunan
yang diselenggarakan oleh negara secara perlahan dan pasti mulai mengancam
eksistensi tanah sebagai objek landrefrom yang ini secara nyata didukung oleh
kepentingan kapitalis internasional. Wujud modernisasi tampil dalam bentuknya
yang paling vulgar, yakni penggusuran dan perampasan dengan
mengatasnamakan pembangunan. Dengan motto atas nama pembangunan
semuanya harus tunduk dan patuh mendukung sepenuhnya kerja pembangunan yang
dilakukan.
Modernisasi dan
pembangunan telah menyebabkan munculnya berbagai persoalan, khususnya dalam
permasalahan tanah. Terlebih-lebih ketika kedua momentum kemudian
signifikan dalam menarik minat para investor ke negeri ini. Catatan kemudian
juga dilengkapi oleh berbagai kisah tragedy berkenaan dengan upaya
mempertahankan hak atas tanah oleh masyarakat. Dan komunitas petani merupakan
salah satu objek yang acap akrab dengan persoalan yang muncul di seputar
pertanahan.
Lahirnya undang-undang
No. 5 tahun 1960 semasa rezim Soekarno dianggap cukup populis, namun tampaknya
ternyata hanya sebatas di atas kertas. Terlalu sulit untuk mengimplementasikan
peraturan ini di tengah-tengah mayarakat. Inilah fakta yang berlangsung selama
kurang lebih 40 tahun lamanya. Pangkal masalahnya terletak pada tidak adanya
kemauan politik yang kuat dari negara untuk menerapkannya. Kenyataan ini
bertambah runyam dengan lahirnya berbagai kebijakan dan peraturan yang tumpang
tindih dan merugikan petani. Alhasil, kompleksitas persoalan yang muncul di seputar
masalah pertanahan laiknya efek bola salju, terus menggelinding dan semakin
hari semakin membesar . Efek inilah yang akhirnya berubah menjadi lingkaraan
setan persoalan yang pada akhirnya harus dihadapi oleh negara.
Tulisan ini dengan
dilatarbelakangi oleh dinamika dan konstalasi sosial politik yang terjadi di
negeri ini mencoba menganalisis lebih jauh akar permasalahan yang menjadi
penyebab munculnya konflik pertanahan, khususnya di Sulawesi Selatan.
1.2 Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana bentuk Konflik
Agraria pada studi: Sengketa Lahan PTPN
VII Cinta Manis dengan Masyarakat di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera
Selatan?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan makalah
ini adalah:
1.
Untuk mengetahui pengertian Hukum
Agraria.
2.
Untuk mengetahui Konflik
Agraria.
3.
Untuk Mengetahui Sejarah
Berdirinya PTPN VII Cunta Manis.
4.
Untuk Mengetahui Proses
awal terjadinya konflik.
5.
Untuk Mengetahui Sebab-sebab
terjadinya konflik
6.
Untuk Mengetahui Solusi penyelesaian Konflik antara PTPN
VII dengan Masyarakat Ogan Ilir.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Agraria.
Definisi hukum agraria (Prof. Budi Harsono)
yaitu “Hukum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum tertulis / tidak tertulis mengenai bumi, air, dan dalam batas-batas tertentu ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Pengertian agraria dalam arti luas (UUPA)
meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam pasal 48, bahkan meliputi
juga ruang angkasa. Yaitu ruang diatas bumi dan air yang mengandung: tenaga dan unsur-unsur yang
dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan
kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal
lainnya yang bersangkutan dengan itu. Pengertian agraria dalam arti sempit (UUPA) yaitu bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air (pasal 1 ayat 4 jo pasal 4 ayat
1). Dengan demikian pengertian “tanah” meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi
yang berada di bawah air, termasuk air laut.
2.2 Pengertian Konflik Agraria
Konflik agraria adalah salah satu tema
sentral wacana pembaruan agraria. Christodoulou (1990) mengatakan, bekerjanya pembaruan agraria tergantung
watak konflik yang mendorong dijalankannya pembaruan. Artinya
karakteristik, perluasan, jumlah, eskalasi, dan de-eskalasi, pola
penyelesaian dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh konflik-konflik agraria di satu sisi dapat membawa
dijalankannya pembaruan agraria (menjadi alasan obyektif dan rasional), di
sisi lain menentukan bentuk dan metode implementasi pembaruan sendiri. Konflik agraria mencerminkan keadaan tidak
terpenuhinya rasa keadilan bagi kelompok masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari tanah dan kekayaan
alam lain, seperti kaum tani, nelayan, dan masyarakat adat. Bagi mereka,
penguasaan atas tanah adalah syarat keselamatan dan keberlanjutan hidup. Namun,
gara-gara konflik agraria, syarat keberlanjutan hidup itu porak-poranda. Komitmen politik untuk menyelesaikan segala
konflik menjadi prasyarat yang tidak bisa ditawar. Dalam kerangka politik hukum, sebenarnya kita sudah
punya Ketetapan MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber daya Alam. Ketetapan MPR ini dapat menjadi kerangka pokok upaya menyelesaikan aneka konflik agraria yang
diwariskan rezim masa lalu yang telah dan masih berlangsung hingga kini.
2.3 Sejarah Berdirinya PT Perkebunan Nusantara VII Unit Cinta
Manis.
Pendirian Perkebunan
Tebu dan Pabrik Gula Cinta Manis oleh PTP XXI-XXII (VII) berdasarkan SK Mentan
No. 076/Mentan/I/1981 tanggal 2 Februari 1981, tentang izin prinsip pendirian
perkebunan tebu dan pabrik di Sumatera Selatan, merupakan upaya
pemerintah memenuhi Swasembada gula dalam negeri pada waktu itu. Awalnya lahan
yang dibutuhkan untuk pembangunan tersebut mencapai 21.358 Ha. Penyediaan lahan
dilakukan melalui SK Gubernur KDH tingkat I Sumatera Selatan No. 379/I/1981 tanggal
16 November 1981.
Lahan yang disediakan
oleh pemerintah provinsi seluas 21.358 Ha, dibagi menjadi enam satuan hamparan
atau rayon. Rayon I dan II terletak di Desa Burai dan sekitarnya (60 Km dari
pabrik) dengan topografi rata sampai landai. Rayon III, IV dan V berada di
wilayah Desa Ketiau, Seri Bandung, Seri Kembang dan sekitarnya. Rayon VI berada
di Desa Rengas dan sekitarnya (25 Km dari Pabrik) bertopografi landai sampai
berbukit kecil.
Pendirian perkebunan
tebu dan pabrik gula tersebut, merupakan bagian dari proyek industrialisasi
pada masa orde baru, ketika ideologi pembangunan (developmentalisme) bertengger
kokoh dengan dukungan hampir semua elemen negara.
2.4 Proses awal terjadinya konflik Perkebunan
(Agraria).
Terjadinya konflik
agraria ini bukanlah pertama kali terjadi tetapi sudah cukup lama di Ogan Ilir,
Sumatera
Selatan yaitu pada tahun 1982,
dimulainya pembangunan PTPN VII Unit Cinta Manis. Dimana PT. Perkebunan
Nusantara (PTPN) VII ini telah merampas tanah rakyat. Perampasan ini membuat para petani di 20 desa
dari 6 kecamatan di Ogan Ilir dengan pasrah dan terpaksa menyerahkan lahan
mereka. karena tidak mampu untuk melakukan perlawan. Pada akhirnya kebun karet
dan kebun nanas masyarakat setempat digusur oleh PTPN VII tanpa ganti rugi yang
layak. Proses ganti rugi pada masa orde baru ini diakui warga kerap diwarnai
tekanan, intimidasi dan sikap refresif aparat keamanan.
Adapun upaya dialog dan
mediasi yang telah ditempuh warga, namun pihak PTPN VII selalu mengulur waktu
dan tidak pernah memberi kepastian yang tegas. Dari luas lahan 20.000 ha yang
diusahakan PTPN VII Cinta Manis hanya 6.000 hektar memilki Hak Guna Usaha (HGU)
berlokasi di daerah Burai kecamatan Rantau Alai. Dengan demikian maka, hanya
6.500 hektar saja dari luasan penguasaan PTPN VII yang tercatat sebagai aset
negara dan dibayarkan keuntungannya kepada negara, sedangkan sisanya seluas
13.500 hektar tidak diketahui digunakan atau diperuntukan untuk apa.
Adapun masalah yang
terjadi dengan perlakuan yang sama oleh anggota Brigade Mobil (Brimob) yaitu
pada tanggal 4 Desember 2009 dimana ada ketidakpuasan masyarakat atas
kompensasi yang mereka terima yaitu dimana terjadi pembongkaran pondok-pondok
petani yang berakhir dengan peristiwa penembakan terhadap warga Desa Rengas,
Kabupaten Ogan Ilir oleh anggota Brimob.
Dan pada akhirnya
terjadi lagi yang mana tidak bisa dihindarkan lagi yaitu pada jumat
(27/07/2012) petang. Dimana konflik perkebunan ini terjadi di desa Limbang
Jaya, Kecamatan Tanjung batu, Kabupaten Ogan Ilir sumatera selatan (sumsel).
Konflik ini terjadi berawal dari Aparat kepolisian. Dimana aparat kepolisian
ini sedang menjalankan tugas pengamanan di lokasi sengketa lahan dengan PT
Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Unit Usaha Cinta Manis.
Pasukan Brimob Polda
melakukan penggeledahan terhadap rumah-rumah penduduk di Desa Sri Bandung,
Kamis (26;07;12) dilakukan pula penangkapan tiga orang warga yang dituduh
melakukan pencurian pupuk milik PTPN VII.
Pada siang menjelang
Shalat Jumat, (27;07;12) ratusan aparat Brimob kembali mendatangi dan melakukan
"sweeping" di tiga desa, di antaranya Desa Betung, Desa Sri Tanjung,
dan Desa Sri Kembang, kemudian menangkap sedikitnya dua orang petani dari Desa
Sri Tanjung. Pukul 16.00 WIB, ratusan Brimob bersenjata lengkap mengendarai
sedikitnya 23 mobil truk kembali mendatangi Desa Limbang Jaya. Warga yang
melihat ratusan anggota Brimob memasuki desa mereka, akhirnya secara
beramai-ramai mendatangi personel kepolisian tersebut dengan maksud menanyakan
kepentingan memasuki desa mereka. Namun melihat banyak warga mendatangi mereka,
pasukan Brimob bersenjata lengkap itu mendadak langsung mengeluarkan tembakan
ke arah warga. Bentrok antara Brimob dengan warga pun tak dapat dihindari.
Karena tembakan secara
membabi-buta yang dilakukan oleh aparat Brimob tersebut, seorang anak berumur
13 tahun yang masih bersekolah kelas 1 SMP, Angga bin Darmawan tewas tertembak
di kepalanya. Angga tertembak saat keluar dari tempat permainan play station,
karena mendengar keramaian petugas.
Berdasarkan hasil
investigasi tim advokasi, jumlah korban dalam kondisi kritis akibat tembakan
petugas sebanyak lima orang, dua orang perempuan, seorang remaja berumur 16
tahun, Jesica cucu dari anggota DPRD Ogan Ilir, satu orang ibu. Satu orang lagi
bernama Rusman bin Alimin dalam kondisi kritis. Semua korban saat ini sedang
berada di Puskesmas Tanjung Batu, dan korban Angga dievakuasi ke Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang. Saat ini ratusan personel Brimob dengan senjata lengkap
masih berada di lokasi Desa Tanjung Pinang.
2.5 Sebab-sebab
terjadinya konflik Perkebunan (Agraria)
Salah
satu penyebab konflik agraria adalah masalah kesenjangan sosial. Konflik juga
bisa disebabkan oleh kebijakan negara masa lalu. Misalnya pada zaman Hindia
Belanda tidak melindungi eksistensi hukum adat seperti hak ulayat sehingga
timbul sengketa batas antara wilayah hukum adat dan wilayah konsesi perkebunan.
Pengambil-alihan
dan pengelolaan kebun sering kali diikuti pula dengan segala budaya kebun yang
dibangun oleh pemilik kebun lama, yaitu semata-mata mementingkan pengusaha
dengan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi kurang memerhatikan masyarakat
sekelilingnya. hal ini juga tercermin masih adanya indikasi besarnya gaji antara pimpinan kebun dengan buruh seperti
langit dan bumi. Kesenjangan sosial demikian meningkatkan kecemburuan sosial
yang melahirkan pikiran sederhana bahwa keberadaan kebun kurang bermanfaat bagi
rakyat di sekitarnya.
Meningkatnya
pengetahuan rakyat dan dengan pikiran yang sederhana pula rakyat cepat
terpancing melakukan tindakan yang dikategorikan melanggar hukum misalnya ada
bagian tertentu dari areal yang sengaja tidak ditanami untuk menjaga
kelestarian lingkungan dan sumber air, pemilik kebun sudah dianggap
menelantarkan tanah dan hal ini menjadi alasan untuk menduduki kebun secara
paksa. Konflik agraria juga terjadi akibat lemahnya penegakan hukum, tanah
telantar, dan reclaiming sebagai tanah adat. Karena itu, diperlukan upaya
preventif dan penyelesaian sengketa. Di antaranya terhadap tanah Hak Guna Usaha
yang masih dikelola dengan baik perlu dijaga kelestariannya. Sebab menurut UUPA
setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian
pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif
dan mencegah cara-cara pemerasan.
2.6 Solusi penyelesaian Konflik antara PTPN VII
dengan Masyarakat Ogan Ilir.
Dalam kasus konflik argaria ini belum ada cara
penyelesaiannya. Sudah banyak usulan berbagai pihak tentang perlunya
pembentukan lembaga khusus seperti Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik
Agraria (KNuPKA), ataupun Pengadilan Agraria.
Pemerintah memilih
strategi memperkuat peran dan posisi Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan
membentuk kedeputian yang secara khusus untuk mengkaji dan menyelesaikan
sengketa dan konflik pertanahan melalui Perpres No 10/2006 tentang BPN dan
meluncurkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang berniat
meredistribusi tanah. Sampai saat ini program setengah hati pemerintah ini
belum terealisasikan dengan baik.
Berbagai peraturan telah
dikeluarkan BPN untuk mendukung penyelesaian konflik agraria, seperti SK. BPN
No 34 tahun 2007 tentang petunjuk teknis penangan dan penyelesaian masalah
pertanahan, dan pedoman penyelesain konflik agraria melalui SK.BPN No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. BPN menjadi satu-satunya lembaga
terdepan untuk menyelesaikan sengketa agraria dengan mengedepan proses-proses
mediasi. Namun perlu dipertanyakan sejauh mana kemampuan BPN menjadi mediator
tanpa ada keberpihakan. Idealnya lembaga mediator terdiri dari unsur
pemerintah, organisasi petani dan lembaga lainnya. Baru-baru ini pemerintah
juga akan membentuk Satgas penyelesaian konflik agraria. Yang tentu diharapkan
mampu menyelesaikan konflik agraria.
Dalam rangka
penyelesaian konflik agraria di butuhkan Badan Otoritas Sengketa Agraria, yang
memiliki kewenangan tidak hanya sekedar penyelesaian sengketa/konflik agraria
tapi juga memiliki kewenangan melaksanakan reforma agraria, memiliki konsep
pembagunan petani dan pertanian. Penataan kembali struktur agraria yang
timpang, pendistribusian tanah kepada petani tak bertanah dan rakyat miskin
lainnya melalui program pembaruan agraria sejati.
Harus ada alokasi yang
jelas bagi tanah petanian dan tanaman pangan milik rakyat. Investasi perkebunan
tidak boleh mengalihfungsikan dan di atas tanah cadangan bagi pertanian rakyat.
Strategi penyelesaian konflik perkebunan tidak hanya sebatas persoalan tanah
siapa diambil siapa. Harus mencakup segala aspek terutama rasa keadilan dan
kesenjangan sosial yang terjadi, sehingga bisa meminimalisir konflik di masa
datang. Konflik agraria adalah konflik struktural yang timbul karena kebijakan
yang salah arah dari pemerintah. Butuh kemauan politik pemerintah untuk
menyelesaikannya, mungkin pemerintah perlu berkaca pada perjanjian pancang
merah tahun 1930 di Pasaman yang dibuat atas kemauan politik penguasa waktu
itu.
sebaiknya apabila ada
HGU yang bermasalah hendaknya diselesaikan lewat jalur hukum yang berlaku,
ditinjau dari sudut terjadinya sengketa, faktor sejarah, keadaan sosial
ekonomi, dan politik mewarnai substansi sengketa. Oleh sebab itu, penangannya
harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut. Ia mengingatkan apapun yang
dilakukan oleh pemilik Hak Guna Usaha (HGU) hendaknya tetap peka terhadap
keadaan lingkungan masyarakat sekitarnya. Keselamatan HGU bukan semata-mata
menjadi beban aparat keamanan, tetapi juga sangat ditentukan apakah kemakmuran
yang diperoleh pengusaha ikut dinikmati juga masyarakat secara luas.
Dan sebaiknya PTPN harus
memiliki legalitas hukum yang sah, sehingga tidak punya HGU. Sedangkan HGU sendiri merupakan alat pemerintah untuk
memperolah penghasilan negara. Sebagai state own company seharusnya PTPN VII
bekerja untuk mensejahterakan warga bukan menyengsarakan dan menindas warga.
Pimpinan PTPN VII harus bertanggung jawab atas gugurnya korban jiwa akibat
kerakusan PTPN VII.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konflik berasal dari kata kerja latin
configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok)
dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu
sendiri.
Bentrok antara warga dan Brimob yang terjadi
di Ogan Ilir, Sumatera Selatan, 27 Juli 2012, secara tak langsung dipicu oleh
ketegangan antara warga dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Unit Cinta Manis
yang mengelola perkebunan tebu di wilayah tersebut. bentrok semacam itu bukan
pertama kali terjadi di Ogan Ilir. Sejarah konflik agraria di daerah tersebut
bahkan cukup panjang, dimulai pada 1982 . tahun dimulainya pembangunan PTPN VII
Unit Cinta Manis. pembangunan Unit Cinta Manis membuat para petani di 20 desa
dari 6 kecamatan di Ogan Ilir terpaksa menyerahkan lahan mereka untuk dijadikan
perkebunan tebu. Kebun karet dan kebun nanas masyarakat digusur oleh PTPN VII
tanpa ganti rugi yang layak. Ini diwarnai pula dengan tekanan, intimidasi, dan
sikap represif aparat keamanan.
Di awal Juni lalu, ribuan warga dari 15 desa
di Kabupaten Ogan Ilir turun ke jalan menuju Kantor DPRD Sumatera Selatan.
Upaya aksi tersebut tidak ditanggapi pihak pemerintah dengan berakhir buntu.
Lalu sebulan kemudian warga menggelar aksi kembali, kali ini dengan sasaran
aksi menuju PTPN VII. Warga menuntut pengembalian lahan mereka yang dirampas
PTPN VII seluas 13 ribu hektar dari 20 ribu hektar yang digunakan PTPN
VII. Dalam situasi ini, PTPN VII menggunakan alat Negara yakni aparat
Brimob untuk menjaga kepentingan para pemilik modal dari tuntutan rakyat.
Artinya dapat dilihat bahwa Negara selalu menggunakan pendekatan keamanan dalam
menyelesaikan setiap persoalan rakyat termasuk sengketa lahan.
3.2 Saran
Didalam penyelesaian konflik kita harus
saling kompromi dimana pihak yang terlibat konflik saling mengalah atau saling
memeberi dan menerima kebijakan, tanpa paksaan, saling mengurangi tuntutan dan saling menghargai
pendirian masing-masing, mengambil pihak ketiga atas persetujuan kedua belah
pihak yang bertikai, mempertemukan pihak yang bertikai dengan melalui lembaga
formal, untuk berunding agar diperoleh persetujuan bersama danmusyawarah pembahasan suatu
masalah secara bersama-sama agar tercapai pendapat bulat dan dianggap paling
baik, paling benar, serta dipertanggung jawabkan.
Didalam kasus konflik perkebunan di Ogan ilir
sumatera selatan selain menggunakan cara-cara diatas, Pemerintah dan aparatnya
seharusnya menjadi kekuatan utama masyarakat untuk memperoleh perlindungan dan
dukungan dalam mewujudkan keadilan sosial bagi petani miskin, rakyat tak
bertanah di pedesaan dan wilayah-wilayah pedalaman.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.jurnas.com/news/55188/Konflik_Agraria_Akibat_Kesenjangan_Sosial/1/Nasional/Hukum
Runtung
Sitepu, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Hukum Adat pada Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara, Medan, 2006.
Rusmadi
Murad - Lokakarya "Mediasi, Solusi Tepat Penyelesaian Masalah Pertanahan di Propinsi Jawa Tengah"
Kanwil BPN Propinsi Jawa Tengah di Semarang, tgl. 22 Desember 2008.
Soetandyo Wignjosoebroto, 2006, Konflik: Masalah, Fungsi dan
Pengelolaannya, Makalah disampaikan dalam Diskusi ...Pengelolaan dan Antisipasi Konflik di Jawa Timur ..., yang diselenggarakan
0 komentar:
Posting Komentar